30 November 2011

Metamorfosis

Sungguh, kadang kita perlu mengabaikan pendapat orang tentang sikap maupun pendangan kita.


Raga ini sedang berusaha untuk bermetamorfosis menjadi lebih baik di setiap detiknya. Kehidupan terasa lebih keras sekarang. Hhh mari kita mencoba untuk bersabar sejenak dan menunggu kejutan apa yang akan muncul di kehidupan.
Now back to the topic, dulu aku seperti ulat yang berubah menjadi kepompong saat proses itu terjadi. Lalu aku mendapat apa yang aku ingin -menjadi seekor kupu-kupu.
Namun, setelah aku bertemu dengan kupu-kupu yang lain aku jadi merasa kecil, merasa jelek, merasa kusam. Mereka itu ibarat kupu-kupu indah yang mempunyai sayap-sayap indah. Lihatlah sayapku ini! Hanya ada tiga jenis warna; hitam, abu-abu, dan putih. Bentuknya pun sudah tak karuan, nyaris rapuh. Atau bahkan sudah rapuh? Ah, aku tak tahu...
Ketahuilah, aku iri melihat sayap mereka. Aku iri dengan seluruh keindahan hidup yang mereka miliki. Dulu, aku merasa sebagai seekor kupu-kupu paling indah yang selalu bisa terbang jauh di atas kupu-kupu lain dan meraih mimpiku dengan mudah. Sekarang semua terasa nyata. Aku bukan apa-apa taupun siapa-siapa.
Aku harus memulai semuanya dari nol lagi. Mengulang titik paling bawah dan terus berkembang setelahnya. Aku sadar aku harus mengejar mereka. AKU MAMPU, AKU BISA, HARUS BISA, PASTI BISA! Kalian juga, KALIAN MAMPU, KALIAN BISA, HARUS BISA, PASTI BISA!
Tidak apa-apa memulai dari nol lagi. Yakinlah, suatu saat nanti kalian akan menemukan jati diri yang sesungguhnya dari dirimu bukanlah diri orang lain. Layaknya aku sekarang yang sedang merubah rupaku menjadi lebih indah.
Abaikanlah semua cibiran yang datang, terimalah semua kritik. Anggap saja itu utk memperbaiki diri.
Ketahuilah wahai kawan... Saat ini, kita berjuang bersama. Kau dan aku satu tujuan.

Abaikan mereka yang menyindir, karena sesungguhnya mereka hanya bisa iri...

Yang memulai dati nol,


Ninis Prabaswari;

29 November 2011

Bahagia!

23.00

...
...
...
...
...
...
...

Wahai jangkrik, kemana kalian malam ini? Temani aku, please. Jangan biarkan aku sendiri mengulum semua cerita pahir masa lalu dengan berbutir-butir air mata ini...

Bantal dan guling sejatinya bukan tempat untuk air mata. Mereka hanya untuk menemani kita bermimpi! Manusia sungguh kejam bukan?
Kasur sejatinya bukanlah tempat untuk meluapkan segala emosi dan keluh kesah. Ia semata-mata hanyalah untuk tempat melampiaskan lelah yang ada di badan.
Gitar sejatinya bukan untuk dimainkan sembari ditangisi. Ia hanyalah penghibur di kala suka dan tak menanti akan jatuhnya sebutir rasa duka.
Buku sejatinya bukan untuk dihujani air mata melainkan untuk dibaca dan diresapi makna dari setiap bait.
Boneka sejatinya tak ingin kita peluk dalam keadaan basah. Ia ingin semua orang memluknya dengan perasaan bahagia. Bukanlah suasana duka.

Intinya, semua benda ingin diperlakukan dengan menyenangkan dengan wajah yang bahagia pula. Karena perasaan itu menular dengan cepat! Cobalah untuk selalu tersenyum dan tertawa. Tebarlah kebahagiaan untuk sekitar. Berbagilah dengan sesama.

Yang ingin selalu bahagia,

Ninis Prabaswari...

28 November 2011

MEREKA!

Ketahuilah, bahwa aku ingin menjadi seperti mereka. Mereka layaknya manusia paling beruntung sedunia. Kadang aku berpikir, apakah memang ini nasibku? Tapi aku mengelak dari itu. Aku yakin, ini bukan NASIB tapi ini adalah proses. Proses menuju kematangan layaknya mereka.
Sebagian dari mereka telah mendapatkan apa yang selama ini aku dambakan. Apa yang selama ini aku inginkan. Sungguh aku ingin seperti mereka.
Aku telah berusaha semampuku meyakini raga ini bahwa semua ini adalah bagian dari sebuah proses. Tapi hati kecilku menolak. Ia merasa bahwa ini adalah takdir, nasib, atau apalah itu. Sugesti terasa tidak lagi mempan mendorong angan untuk terus terbang tinggi, meraih apa yang memang sepantasnyalah diraih. Raga dan jiwa ini tak mampu. Bukankah wajah ini telah menunjukkan keletihan yang amat pekat? Keletihan untuk mengejar mereka...
Apakah aku harus bertahan menjadi diriku sendiri? Terkungkung dalam setiap senti kebodohan yang sesungguhnya berasal dari dalam raga ini sendiri. Apakah aku harus terbang bebas dan tinggi kemudian melupakan tujuan utamaku untuk menjadi seperti mereka?
Terkadang...aku letih mengejar mereka. Mereka terlalu jauh. Terlalu tinggi. Hingga kemudian hanya lelah yang bersemayam dalam dada ini. Tertekan. Meskipun tiada satu orang pun yang menekanku untuk menjadi seperti mereka. Tapi hati kecil ini sangat ingin menjadi mereka. Namun hati kecil ini pula yang mengeluh.
Aku hanya tabir dari bayangan mereka. Meskipun, aku masih percaya aku bisa mencapai mereka, tapi untuk sekarang, aku sudah lelah. Aku yakin suatu saat 'nasib' baik itu akan berpihak kepada tabir ini.
Tolong jangan tiru aku, kawan... Aku hanyalah contoh bodoh yang tak lagi berdaya untuk mengejar mereka. Mungkin kalian punya sendiri mereka versi kalian. Kejarlah mereka! Suatu saat kau pasti akan terbang lebih tinggi daripada aku yang masih saja menjadi tabir bagi bayangan mereka sedangkan KAU sudah menjadi mereka HAHAHA.
Semalat berjuang ;)



*P.S: Doakan juga supaya aku bisa mengejar mereka selayaknya kalian :)

23 November 2011

Perjanjian Dengan Rambut

"Rambut, mulai sekarang aku berjanji tidak akan meperlihatkanmu kepda orang lain!" aku berkata dengan hikmat sambil mengelus pelan helaian panjang hitam itu.

"Mengapa? Apakah aku sebegitu buruknya sehingga kau tak ingin orang lain melihatku?" ia bertanya dengan mimik muka memelas.

Aku tak tega melihatnya, "Bukan begitu. Justru sebaliknya. Kau terlampau indah untuk diperlihatkan kepada mereka yang baru mengenalku. Kau akan kurawat dan kujaga baik-baik. Dan suatu saat seseorang yang pantaslah yang akan melihatmu indah tergerai dari kepalaku. Ini semata-mata kulakukan untuk menjalankan kewajiban yang Allah SWT berikan kepada seorang muslimah. Dan insya Allah semua itu akan dibayar dengan ganjaran yang sesuai di waktu nanti. Tetaplah menjadi mahkotaku..."

Lalu, Si Rambut telah berhasil kututupi kirang lebih selama setahun ini...

Ada yang mau nyusul? :D