Gagal. Aku
gagal. Sekali lagi aku gagal.
Sudah berkali-kali
aku jatuh. Meskipun jurangnya berbeda-beda, tetap saja sakit. Daridulu aku paling taku mengecap rasa yang sangat pahit, kegagalan. Sedari kecil aku sudah
berada di lingkungan dimana aku bisa menang dengan mudahnya. Tapi ternyata
dunia lebih luas dari sekedar kemenangan. Persaingan semakin jelas terasa
disini. This is high school life. Semakin terlihat pebedaan serta
komptenesi masing-masing individu. Aku tak lagi bisa selalu menjadi pemenang
disini. Banyak mereka yang jauh jauh dan jauh lebih hebat dari aku. Aku bukan
apa-apa disini.
Tahap I berhasil aku lewati. Dari 650 peserta aku terpilih
menjadi satu diantara 81 anak lainnya. Hatiku membuncah senang. Rasanya dunia
sudah digenggaman tangan. Ini yg masih belum bisa aku perbaiki hingga sekarang:
mengontrol rasa senangku hingga tak beralih menjadi over confident. Hingga terkadang
dadaku terlalu terbusung hingga merendahkan orang lain. Sungguh, aku menyesal.
Kemarin pengumuman
seleksi tahap II dan aku gagal, teman. Aku sedikit tidak bisa memercayai ini. Aku
gagal meraih dunia yang kukira sudah aku genggam. Aku tak sadar bahwa
dunia masih sangat-sangat jauh untuk kuraih. Airmataku menetes satu per satu.
Dalam keadaan shock temanku berkata, “Tuhan memberi kita apa
yang kita butuh bukan apa yang kita inginkan. Kalau tuhan memberi kita hadiah
kegagalan kepada kita saat ini, mungkin Dia akan menggantinya dengan yg lebih
indah di lain waktu.” Begitu kira-kira.
Entah mengapa, aku sangat percaya dengan kata-kata itu sejak kemarin.
Kegagalan bukanlah
awal sebuah keterpurukan, melainkan sebuah hadiah dari Tuhan agar kita bisa
menyadari potensi kita yang lain. Agar kita terus berintrospeksi terhadap diri
sendiri. Agar kita terus berusaha menjadi yang nomor satu. Agar kita terus
melesat mengejar apa yang kita impikan. Ya, kegagalan adalah hadiah Tuhan
untukku.
Tuhan
(pasti) punya maksud di balik setiap kegagalan. Aku sadar aku belum dekat
dengan lingkungan sekitarku: Kota Jogjakarta ini. Aku belum banyak berbuat
untuk sekitarku dan keluargaku. Mungkin Tuhan ingin aku memulai langkah untuk
menggenggam dunia dari hal yang kecil dahulu. Mungkin aku harus mengerucutkan
dan membagi impian-impianku agar aku bisa fokus untuk meraihnya satu per satu.
Sekarang,
aku sudah kembali tersenyum. Dunia memang masih jauh tapi bukan tidak mungkin
untuk kembali ku genggam. Mimpi itu takkan pernah hilang. Bahkan, ia tumbuh
menjadi semakin subur dalam hati serta benakku. Mungkin ini hikmah kegagalan.
Ya, aku akan kesana suatu hari nanti. Pasti.
Matahari kembali merangkak naik,
seiring dengan mimpi ini yang terus tumbuh,
Ninis Prabaswari :)